”Sight is a wonderful gift many taken for granted” (Penglihatan adalah anugerah terindah yang sering disia-siakan).
Miles Hilton Barber
Ucapan pilot tunanetra asal Inggris itu mengawali kuliah inaugurasi Tjahjono Darminto Gondhowiardjo sebagai anggota baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pertengahan Juni lalu. Dalam kuliah sepanjang 30 menit itu, ia mengingatkan hadirin tentang pentingnya kesehatan mata.
Tjahjo adalah dokter spesialis mata yang telah berkecimpung di bidangnya selama 25 tahun. Sepanjang masa itu, ia melihat masyarakat, bahkan para dokter, cenderung menganggap kesehatan mata sebagai hal kecil. Persis seperti ucapan Miles Hilton Barber.
Ia menguraikan pengalamannya. Suatu kali ia mengikuti kegiatan operasi kebutaan katarak di Papua. Saat kembali ke Jakarta, ia mendapat kabar, mata pasiennya mengalami infeksi. Pasien itu segera diterbangkan ke Jakarta. Sayang, infeksi pada salah satu mata itu sudah parah. Tjahjo terpaksa membuang satu mata tersebut.
Kejadian itu membuat dia sangat terpukul. Infeksi semacam itu bisa terjadi dalam masa penyembuhan pasca-operasi. Namun, ia tetap merasa bersalah, meski pasien yang kehilangan satu mata itu menghampiri dan memeluknya sambil mengucapkan terima kasih.
”Dia berterima kasih karena bisa kembali melihat meski hanya punya satu mata. Dia juga berterima kasih karena tak pernah membayangkan bisa pergi ke Jakarta,” kata Tjahjo mengenang peristiwa itu sambil memejamkan mata.
Perjumpaan dengan warga Papua itu menyadarkan Tjahjo bahwa bisa melihat kembali adalah anugerah yang berharga. Menurut dia, mata bukan sekadar indera untuk melihat. Mata adalah organ yang menangkap informasi terbanyak, sekitar 83 persen dibandingkan dengan indera lain.
Otak yang menerima informasi akan mengolah dan meramunya dengan menambahkan acuan pengalaman masa lalu dan kondisi lingkungan masa kini. Proses itu menentukan sikap seseorang dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, proses melihat sesungguhnya embrio dari proses berpikir.
Gangguan pada mata akan mengganggu proses menyerap informasi dan proses berpikir. Pada tingkat tertentu, hal itu akan mengganggu kesehatan jiwa seseorang. ”Cobalah tinggal di ruang yang gelap selama 10 menit, kita akan memahami mengapa mata yang sehat begitu penting,” ujarnya.
Pemahaman tentang arti penting kesehatan mata itu lalu dia bawa dalam konteks kehidupan berbangsa. Kesehatan mata masyarakat, katanya, akan menentukan kemajuan peradaban suatu bangsa.
Dokter bedah
Tjahjo mengawali karier sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Umum Ambon tahun 1980, setelah menyelesaikan pendidikan dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Setiap hari ia bertugas membedah pasien. Ia merasa tak mendapat kesulitan berarti saat menjalankan tugas.
Hingga suatu kali, Tjahjo berhadapan dengan pasien korban kecelakaan lalu lintas dengan dua bola mata pecah berantakan. ”Satu matanya langsung saya buang karena tak mungkin diselamatkan. Namun, pada satu mata lainnya, saya bingung harus bagaimana?” katanya.
Pria yang terlahir dari keluarga dokter ini menyadari, dia tak menguasai masalah mata. Maka, saat mendapat kesempatan melanjutkan studi, ia mengambil spesialisasi ilmu penyakit mata di FKUI. Studi itu diperdalam saat mengambil program doktor di Belanda.
Sembari memperdalam ilmu, Tjahjo aktif di berbagai kegiatan penanggulangan kebutaan yang diadakan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami). Ia terlibat dalam kegiatan operasi kebutaan katarak, mulai dari Jakarta hingga pelosok Papua.
Setelah meraih gelar doktor, Tjahjo kembali ke almamaternya, FKUI. Ia menjadi pengajar, peneliti, hingga Kepala Departemen Ilmu Penyakit Mata, FKUI, tahun 1997-2005.
Penelitian ilmiah tentang penyakit mata yang dilengkapi pengalaman menangani penderita kebutaan di beberapa daerah memperkaya pemahamannya tentang penyakit mata.
Dalam kuliah inaugurasinya, Tjahjo membahas mata dari berbagai aspek, mulai dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental. Ia juga menyinggung hambatan politik, ekonomi, sosial, dan kultural dalam upaya menanggulangi kebutaan di Tanah Air.
Gerakan Mata Hati
Tjahjo mengatakan, tingkat kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen, setara dengan tingkat kebutaan di negara-negara Afrika. Jika penduduk Indonesia berjumlah 230 juta jiwa, sekitar 3,45 juta penduduk menderita kebutaan, mulai dari kebutaan katarak, retina, glaukoma, hingga kornea.
Sesungguhnya, katanya, sebagian besar kasus kebutaan bisa ditanggulangi. Penderita kebutaan katarak, misalnya, bisa disembuhkan lewat operasi. Namun, sebagian besar penderita kebutaan berasal dari keluarga miskin. Mereka tak mampu membayar biaya operasi.
Sejak tahun 1987, Perdami bersama Yayasan Dharmais mengadakan operasi katarak massal di sejumlah provinsi. Puncaknya tahun 1999, jumlah pasien yang dioperasi mencapai 13.091 orang. Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah pasien yang dioperasi makin menurun, seiring menurunnya dukungan dana dari Yayasan Dharmais.
Untuk mengatasi masalah itu, Perdami menjalin kerja sama dengan sejumlah filantropis dan instansi swasta. Hasilnya adalah Gerakan Mata Hati yang bertujuan menggalang dana guna membiayai operasi katarak. Selama periode 2009-2010, gerakan ini menyantuni 4.000 pasien.
Tjahjo yang menjadi Ketua Perdami tahun 2003-2010 menambahkan, keterbatasan biaya hanya salah satu kendala dalam menanggulangi kebutaan. Kendala itu bisa diatasi jika ada kepedulian dari semua pihak.
Karena itu, pada kuliah inaugurasi tersebut, Tjahjo yang kini Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia/Bank Mata mengundang Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan. Ia berharap para penentu kebijakan itu memberi perhatian lebih kepada para penderita kebutaan setelah mendengar kuliahnya.
”Kebutaan adalah malapetaka bagi individu, masyarakat, dan bangsa,” kata Tjahjo mengingatkan.
Miles Hilton Barber
Ucapan pilot tunanetra asal Inggris itu mengawali kuliah inaugurasi Tjahjono Darminto Gondhowiardjo sebagai anggota baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pertengahan Juni lalu. Dalam kuliah sepanjang 30 menit itu, ia mengingatkan hadirin tentang pentingnya kesehatan mata.
Tjahjo adalah dokter spesialis mata yang telah berkecimpung di bidangnya selama 25 tahun. Sepanjang masa itu, ia melihat masyarakat, bahkan para dokter, cenderung menganggap kesehatan mata sebagai hal kecil. Persis seperti ucapan Miles Hilton Barber.
Ia menguraikan pengalamannya. Suatu kali ia mengikuti kegiatan operasi kebutaan katarak di Papua. Saat kembali ke Jakarta, ia mendapat kabar, mata pasiennya mengalami infeksi. Pasien itu segera diterbangkan ke Jakarta. Sayang, infeksi pada salah satu mata itu sudah parah. Tjahjo terpaksa membuang satu mata tersebut.
Kejadian itu membuat dia sangat terpukul. Infeksi semacam itu bisa terjadi dalam masa penyembuhan pasca-operasi. Namun, ia tetap merasa bersalah, meski pasien yang kehilangan satu mata itu menghampiri dan memeluknya sambil mengucapkan terima kasih.
”Dia berterima kasih karena bisa kembali melihat meski hanya punya satu mata. Dia juga berterima kasih karena tak pernah membayangkan bisa pergi ke Jakarta,” kata Tjahjo mengenang peristiwa itu sambil memejamkan mata.
Perjumpaan dengan warga Papua itu menyadarkan Tjahjo bahwa bisa melihat kembali adalah anugerah yang berharga. Menurut dia, mata bukan sekadar indera untuk melihat. Mata adalah organ yang menangkap informasi terbanyak, sekitar 83 persen dibandingkan dengan indera lain.
Otak yang menerima informasi akan mengolah dan meramunya dengan menambahkan acuan pengalaman masa lalu dan kondisi lingkungan masa kini. Proses itu menentukan sikap seseorang dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, proses melihat sesungguhnya embrio dari proses berpikir.
Gangguan pada mata akan mengganggu proses menyerap informasi dan proses berpikir. Pada tingkat tertentu, hal itu akan mengganggu kesehatan jiwa seseorang. ”Cobalah tinggal di ruang yang gelap selama 10 menit, kita akan memahami mengapa mata yang sehat begitu penting,” ujarnya.
Pemahaman tentang arti penting kesehatan mata itu lalu dia bawa dalam konteks kehidupan berbangsa. Kesehatan mata masyarakat, katanya, akan menentukan kemajuan peradaban suatu bangsa.
Dokter bedah
Tjahjo mengawali karier sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Umum Ambon tahun 1980, setelah menyelesaikan pendidikan dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Setiap hari ia bertugas membedah pasien. Ia merasa tak mendapat kesulitan berarti saat menjalankan tugas.
Hingga suatu kali, Tjahjo berhadapan dengan pasien korban kecelakaan lalu lintas dengan dua bola mata pecah berantakan. ”Satu matanya langsung saya buang karena tak mungkin diselamatkan. Namun, pada satu mata lainnya, saya bingung harus bagaimana?” katanya.
Pria yang terlahir dari keluarga dokter ini menyadari, dia tak menguasai masalah mata. Maka, saat mendapat kesempatan melanjutkan studi, ia mengambil spesialisasi ilmu penyakit mata di FKUI. Studi itu diperdalam saat mengambil program doktor di Belanda.
Sembari memperdalam ilmu, Tjahjo aktif di berbagai kegiatan penanggulangan kebutaan yang diadakan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami). Ia terlibat dalam kegiatan operasi kebutaan katarak, mulai dari Jakarta hingga pelosok Papua.
Setelah meraih gelar doktor, Tjahjo kembali ke almamaternya, FKUI. Ia menjadi pengajar, peneliti, hingga Kepala Departemen Ilmu Penyakit Mata, FKUI, tahun 1997-2005.
Penelitian ilmiah tentang penyakit mata yang dilengkapi pengalaman menangani penderita kebutaan di beberapa daerah memperkaya pemahamannya tentang penyakit mata.
Dalam kuliah inaugurasinya, Tjahjo membahas mata dari berbagai aspek, mulai dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental. Ia juga menyinggung hambatan politik, ekonomi, sosial, dan kultural dalam upaya menanggulangi kebutaan di Tanah Air.
Gerakan Mata Hati
Tjahjo mengatakan, tingkat kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen, setara dengan tingkat kebutaan di negara-negara Afrika. Jika penduduk Indonesia berjumlah 230 juta jiwa, sekitar 3,45 juta penduduk menderita kebutaan, mulai dari kebutaan katarak, retina, glaukoma, hingga kornea.
Sesungguhnya, katanya, sebagian besar kasus kebutaan bisa ditanggulangi. Penderita kebutaan katarak, misalnya, bisa disembuhkan lewat operasi. Namun, sebagian besar penderita kebutaan berasal dari keluarga miskin. Mereka tak mampu membayar biaya operasi.
Sejak tahun 1987, Perdami bersama Yayasan Dharmais mengadakan operasi katarak massal di sejumlah provinsi. Puncaknya tahun 1999, jumlah pasien yang dioperasi mencapai 13.091 orang. Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah pasien yang dioperasi makin menurun, seiring menurunnya dukungan dana dari Yayasan Dharmais.
Untuk mengatasi masalah itu, Perdami menjalin kerja sama dengan sejumlah filantropis dan instansi swasta. Hasilnya adalah Gerakan Mata Hati yang bertujuan menggalang dana guna membiayai operasi katarak. Selama periode 2009-2010, gerakan ini menyantuni 4.000 pasien.
Tjahjo yang menjadi Ketua Perdami tahun 2003-2010 menambahkan, keterbatasan biaya hanya salah satu kendala dalam menanggulangi kebutaan. Kendala itu bisa diatasi jika ada kepedulian dari semua pihak.
Karena itu, pada kuliah inaugurasi tersebut, Tjahjo yang kini Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia/Bank Mata mengundang Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan. Ia berharap para penentu kebijakan itu memberi perhatian lebih kepada para penderita kebutaan setelah mendengar kuliahnya.
”Kebutaan adalah malapetaka bagi individu, masyarakat, dan bangsa,” kata Tjahjo mengingatkan.
09.37 | 0
komentar | Read More